Hidupkan Kembali Warisan Osing: HISKI Banyuwangi Satukan Akademisi, Seniman, dan Budayawan


BANYUWANGI – Komitmen melestarikan budaya lokal terus digaungkan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Banyuwangi. Melalui Forum Diskusi Grup Terpumpun (FDGT) yang digelar Sabtu, 12 April 2025 di Perpustakaan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, HISKI memulai langkah strategis membangun kolaborasi lintas komunitas dalam upaya merawat warisan tradisi lisan dan manuskrip lokal.

Sejak resmi berdiri awal tahun ini, HISKI Banyuwangi telah membawa misi menjadikan literasi budaya sebagai pondasi memperkuat identitas masyarakat Osing di tengah arus modernisasi. Ketua HISKI Banyuwangi, Syafaat, menegaskan bahwa pelestarian budaya tak cukup hanya disimpan atau dipamerkan, tapi harus dihidupkan kembali dalam keseharian, terutama lewat platform yang relevan dengan generasi digital.

“Budaya tak seharusnya menjadi sekadar tontonan festival. Ia harus hidup, menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat. Untuk itu, kita butuh jejaring yang solid dan sinergis,” ungkap Syafaat.

Diskusi berlangsung hangat dan kaya perspektif. Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), Hasan Basri, menekankan urgensi dokumentasi dan publikasi karya sastra lokal. “Karya yang tidak ditulis atau dipublikasikan akan lenyap. Kita perlu menuliskannya kembali, menyebarkannya dalam format yang bisa menjangkau generasi hari ini,” tegasnya.

Budayawan Aekanu Haryono turut menyoroti pentingnya HISKI sebagai motor literasi budaya yang bisa menghidupkan warisan seperti Seblang, Barong, hingga ekspresi Osing lainnya lewat digitalisasi dan pengembangan media baru.

Forum ini juga menghadirkan para pegiat budaya dan akademisi seperti Wiwin Indiarti, Muttafaqurrahmah, Elvin Hendrata, Slamet Ari Wibowo, Samsudin Adlawi, hingga perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Darmanto. Dalam paparannya, Darmanto menekankan bahwa pelestarian budaya bukan semata urusan pemerintah, melainkan gerakan bersama yang menghormati sejarah dan daya tahan budaya lokal.

Baca juga:  Ribuan Umat Hindu Banyuwangi Gelar Pawai Budaya Sambut Nyepi 1947

Tahun ini, HISKI Banyuwangi mengangkat tema besar “Lontar Sri Tanjung dan Babad Tawangalun”—dua teks klasik yang menjadi titik pijak identitas masyarakat Osing. Wiwin Indiarti menekankan pentingnya mengangkat teks-teks tersebut dalam narasi kontemporer agar tidak hanya dikenang, tapi juga dirasakan relevansinya oleh generasi muda.

Sastrawan sekaligus jurnalis, Samsudin Adlawi, menyuarakan pentingnya menulis ulang kisah spiritual dalam kesenian Osing, seperti Gembrung, sebagai media refleksi nilai-nilai lokal. Hemas Aradhea dari Janger Sri Budoyo Pangestu juga menekankan peran kesenian rakyat seperti Janger dalam menjaga ingatan budaya, sementara Bhogi Bhayu menelusuri akar spiritual Jaranan Buto dari legenda Minak Jinggo.

Sementara itu, jurnalis Kompas, Ira Rachmawati, mengangkat pentingnya menempatkan perempuan bukan hanya sebagai objek cerita rakyat, tapi sebagai subjek aktif dalam menjaga dan meneruskan tradisi.

Sebagai tindak lanjut, HISKI Banyuwangi merancang workshop bertajuk Optimalisasi Sastra dan Industri Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip, yang akan digelar dalam waktu dekat.

“Di era digital, pelestarian budaya bukan soal menyelamatkan isinya saja, tapi bagaimana kita mengalihkan mediumnya. Dari manuskrip menjadi e-book, dari lisan menjadi film dokumenter, dari tari menjadi hologram,” ujar Syafaat.

HISKI menegaskan, sastra bukan menara gading—ia adalah gerbong utama dari kereta besar kebudayaan. Forum ini diharapkan menjadi titik temu antara akademisi, seniman, jurnalis, birokrat, dan komunitas budaya untuk menjadikan warisan Banyuwangi tak sekadar bertahan, tapi berkembang dan terus bersuara dalam berbagai bentuk.

“Melestarikan budaya bukan soal romantisme masa lalu,” pungkas Syafaat, “tapi inovasi masa kini yang terus menyirami akar warisan agar tumbuh menjadi pohon identitas yang kuat.” (*)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *